Thursday, April 24, 2008

Memahami Islam Sebagai Peradaban

Dr. Imaduddin Khalil, intelektual Irak, saya kira, adalah salah seorang intelektual Islam terbaik saat ini. Pendekatannya memahami Islam dari pintu peradaban (termasuk sejarah sebagai bagian yang dominan) memberi optimisme untuk kebangunan kembali peran kepemimpinan Islam di tengah umat manusia.

Buku Madkhal ila al-Hadlarah al-Islamiyah (pengantar peradaban Islam) yang kita bedah ini adalah salah satu bukti pendekatan tersebut. Beliau memandang Islam sebagai peradaban yang komprehensif menata hidup, merambah dari akar keyakinan sampai dengan aturan praktis kehidupan sehari-hari.

Beliau menolak mendekati Islam secara parsial apalagi dikotomis yang memperhadapkan dunia dan akhirat, atau dalam dunia pengetahuan: ilmu agama dan ilmu umum (meminjam istilah yang lazim dipakai dalam terminologi pengetahuan di Indonesia).

Beliau memberi bukti teks agama, sejarah dan kenyataan sosial betapa Islam adalah sebuah peradaban yang lengkap; di situ ada sains, ekonomi, politik, militer, seni, budaya, gaya hidup dan seterusnya. Beliau tidak mau intelektual Islam identik dengan stereotype tokoh agama yang hidupnya hanya dari rumah ke mesjid dipakaikan pakaian yang membedakannya dari orang kebanyakan untuk membatasi perannya pada kotak tertentu. Beliau menginginkan Islam adalah kehidupan itu sendiri, tokoh Islam adalah tokoh yang bergerak berubah bersama denyut kehidupan itu sendiri.

Secara metodoligis buku ini cocok untuk para mahasiswa yang baru membaca tentang peradaban Islam karena sistematikanya mengalir dari kelahiran peradaban islam, ciri khasnya, kejatuhannya, kondisinya kini dan prediksinya ke depan. Bagi pembaca umum sekalipun, buku ini bisa mendekatkan mereka untuk memahami Islam dalam horizon yang lebih luas, bukan dikotak pada sisi tertentu dari kehidupan ini.

Saya selalu senang membaca karya-karya Dr. Imaduddin Khalil karena selain padat berisi, ia memberi inspirasi dan optimisme untuk masa depan umat Islam yang lebih baik.

Monday, April 14, 2008

Prof. El-Mehdi El-Menjra: Intelektual Kritis

Saya selalu senang dan kagum terhadap intelektual yang jujur dan berani. Apalagi kemudian, pikiran-pikiran sang intelektual sangat berpengaruh terhadap kehidupan umat manusia di sekelilingnya. Mungkin, jenis intelektual macam inilah yang disebut Antonio Gramsci sebagai intelektual organik, atau disebut Hasyim Saleh sebagai intelektual kritis.

Prof. Dr. el-Mehdi el-Menjra, saya kira, adalah salah satu intelektual jenis itu. Membaca karya-karya el-Menjra adalah membaca kegundahan bangsa-bangsa dari negara-negara yang dijajah dan baru merdeka secara fisik pada kisaran tengah abad ke-20. Bangsa-bangsa itu, kini, memasuki era poskolonialisme dengan penetrasi mantan penjajahnya yang masih besar ke jantung politik, ekonomi, kebudayaan, alam fikir dan gaya hidupnya.

Membaca karya-karya el-Menjra ibarat berendam di air dingin di tengah terik matahari: menyegarkan dan memberi kebeningan rasa. Lingkungan sekitar kita kini sangat-sangat tidak ramah; penuh polusi dan lebih sering terik karena cuaca yang berubah dipenuhi zat buangan dari mesin-mesin penggerek kapitalisme.

Abdul Karim Garib mengkhususkan satu buku untuk memotret simpul-simpul sikap dan pemikiran Prof. el-Menjra. Judulnya: Ma'a al-Mehdi al-Menjra (bersama el-Mehdi al-Menjra). Terbit pertama di Casablanca, 1428-2007.

Beberapa simpul pemikiran el-Menjra yang sempat saya tangkap dalam buku ini antara lain: 1. perang nilai adalah inti dari pertarungan umat manusia dari sejak perang terhadap Iraq 1991 dibawah inisiatif Presiden Bush Senior dan seterusnya.

2. Manusia kini telah berada di era masyarakat informasi sebagai kelanjutan dari masyarakat kapitalis akibat revolusi di bidang informasi dan telekomunikasi.

3. Pertaruhan hidup mati sebuah bangsa kini dan ke depan terletak pada kemampuannya untuk membuat manusia-manusia unggul secara keilmuan. Kekayaan alam dan material tidak akan berarti apa-apa jika manusia-manusianya tidak berkualitas. Produk-produk yang dibuat sekarang hanya menggunakan sedikit sekali bahan material dengan nilai keunggulan yang luar biasa.

4. Kemajuan sebuah bangsa harus didasarkan dari titik pijak identitas internalnya, orang Arab misalnya bisa maju jika seluruh produk pengetahuan dan basis kemajuannya berangkat dengan bahasa Arab, sebagaimana bangsa Jepang pernah membuktikannya.

5. Negara-negara penjajah akan terus melancarkan penundukannya terhadap bangsa-bangsa yang pernah dijajahnya (poskolonialisme) baik dengan hard power (kekuatan senjata) maupun soft power (kekuatan lobi dst). Dalam hal ini, mereka misalnya melancarkan perang semiotik dengan memproduksi kata-kata yang tanpa sadar digunakan juga oleh bangsa-bangsa dunia ketiga dengan makna yang telah dirubah menjadi berpihak terhadap kepentingan negara-negara kolonial tersebut, semisal kata: terorisme, islamis, timur tengah, perdamaian, dialog, pasar bebas, demokrasi dan seterusnya.

Masih banyak detil pikiran Prof. El-Menjra yang begitu asyik untuk diikuti karena bahasa yang berani, mengalir, penuh kejutan dan mencerahkan. Bagi siapapun yang membutuhkan bahan pembanding untuk memahami realitas kekinian kita, karya-karya Prof. el-Menjra, saya kira, menjadi bacaan wajib. Setidak-tidaknya, buku yang disusun Abdul Karim Garib ini bisa menjadi titik berangkat.

Sunday, April 13, 2008

Bersihkan Jiwa Kita

Membaca Tahdzibul Akhlaq-nya Ibnu Maskawaih adalah membaca diri sendiri.

Saya membaca halaman demi halaman buku ini dengan penuh ketakjuban: begitu tajam, mengalir, logis dan aplikabel.

Dalam banyak kesempatan, Prof. Mohamed Arkoun menyebut Ibnu Maskawaih sebagai ikon peradaban Islam yang menyumbang peran besar bagi umat manusia di zamannya. Kalau cendikiawan muslim masa kini mau ambil peran besar menata umat manusia zaman kini, spirit Ibnu Maskawaih wajib jadi acuan.

Dr. Faruq an-Nabhan, mantan Direktur Darul Hadits al-Hassaniyah Maroko pernah khusus membahas pikiran-pikiran Ibnu Maskawaih dalam pengajian Durus al-Hassaniyah di Istana Raja Maroko.

Pendidikan Islam, mengacu kepada Ibnu Maskawaih, terminal akhirnya adalah menyampaikan manusia kepada Tuhan. Untuk itu, tiga tabir penghalang --menurut Ibnu Maskawaih-- harus ditembus: pertama, perbuatan maksiat; kedua, keterkaitan hati dengan dunia, dan; ketiga, lemahnya himmah (semangat kerja keras) untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Jika seseorang mau sampai kepada Tuhan, maka ia harus meninggalkan dosa-dosa, memutus keterkaitan hatinya dengan dunia materi dan meningkatkan terus menerus semangat dan kerja keras melakukan amal agama, betapapun beratnya.

Masih banyak detil soal-soal jiwa yang dibahas Ibnu Maskawaih dalam bukunya Tahdzibul Akhlaq ini. Untuk internalisasi, saya kira membaca buku ini tidak cukup hanya sekali tamat. Ia perlu dijadikan rujukan terus menerus dalam tata laku kehidupan sehari-hari, jika memang seseorang mau serius membersihkan jiwa agar bisa sampai kepada Sang Pencipta-nya.

Mengutip al-Jahidz: al-kitab khairu jaliisin fizzaman, buku adalah teman terbaik sepanjang masa.